Banyak
pihak menghawatirkan masa depan generasi muda kita menjadi generasi yang lepas
dari tata nilai kehidupan masyarakat Pancasilais, religius. Generasi yang
apatis, pragmatis dibarengi gaya hidup hedonis. Tak mengenal nilai-nilai
keagamaan seta nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi para leluhur kita, yang
mengakibatkan robohnya tatanan kemasyarakatan dalam bangunan berbangsa dan bernegara.
Bila
kekhawatiran ini terbukti, bisa dipastikan generasi bangsa ini hanya akan
menjadi objek orang lain (bangsa lain) yang begitu bernafsu memanfaatkan
kekayaan alam kita yang melimpah ruah, hanya untuk kepuasan mereka, melalui
penguasaan ekonomi, bahkan bukan tidak mungkin penguasaan politik dan militer.
Berbagai
indikasi menunjukan betapa beralasan munculnya kekhawatiran tersebut. Sudah terlalu banyak generasi kita yang
menjadi korban narkotika. Baik pemakai (pecandu), maupun pengedar. Otak mereka
sudah rusak teracuni barang haram itu yang mengakibatkan hilangnya harapan masa
depan yang baik. Hampir tiap hari media memberitakan tertangkapnya pemasok,
pengedar dan pemakai. Media juga memberitakan berton-ton sabu dan obat
terlarang lainnya dimasukan ke negri ini. Entah dari mana.
Menurut berbagai informasi barang haram tersebut dikirim dari negri Cina. Bukan hanya jumlahnya yang fantastik, intensitasnya lebih fantastik lagi. Meski sudah banyak yang tertangkap, dipenjara bahkan dihukum mati, tapi tak pernah henti-henti. Apa tujuannya ? Sudah bisa dipastikan selain uang, ada upaya penghancuran bangsa. Dan sasaran penghancuran adalah generasi muda harapan bangsa.
Menurut berbagai informasi barang haram tersebut dikirim dari negri Cina. Bukan hanya jumlahnya yang fantastik, intensitasnya lebih fantastik lagi. Meski sudah banyak yang tertangkap, dipenjara bahkan dihukum mati, tapi tak pernah henti-henti. Apa tujuannya ? Sudah bisa dipastikan selain uang, ada upaya penghancuran bangsa. Dan sasaran penghancuran adalah generasi muda harapan bangsa.
Indikator
lainnya, tumbuh suburnya gaya hidup hedonisme di kalangan anak muda. Maraknya
tindak kriminal baik perorangan maupun kelompok anak muda. Tawuran antar
pelajar sering terjadi, padahal penyebabnya terkadang hanya persoalan spele.
Munculnya geng-geng motor yang menumbuhkan sara takut di kalangan masyarakat,
karena tingkah laku brutal yang dilakukan terhadap siapapun.
Terkesan
seolah-olah ; bergelut dengan narkoba, mabuk-mabukan, free sex, kekerasan bahkan
kriminal adalah bagian dari kehidupan anak muda jaman now. Kalau tidak,
dianggap kuno. Ini berbahaya sekali.
Kemudian,
apa yang harus kita lakukan ?
Pendidikan adalah pilar
utama penyelamatan generasi.
Di
hari yang sangat sakral (bagi pelaku pendidikan) ini, 2 Mei 2018 Hari Pendidikan Nasional saya
ingin mengekspresikan pikiran berkaitan dengan peran pemerintah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan
sering diartikan dan difahami secara sederhana, yaitu sebagai proses interaksi
belajar mengajar antara guru dan murid di sekolah, sehingga apapun hasilnya,
baik atau buruk menjadi tanggung jawab guru. Terkadang, guru mendapat pujian
dan penghormatan atas keberhasilan mendidik anak muridnya. Tapi tidak sedikit
cacian dan tuduhan negativ dari masyarakat ketika hasil didiknya buruk.
Celakanya, ketika kebokbrokan moral
anak-anak muda yang terjadi selama ini ditimpakan dosanya kepada guru.
Lalu,
apa benar begitu ?
Pendidikan harus dilihat dan diposisikan
dengan benar dan konperhensif. Pasal 1 UU 20/2003 Tentang Sisdiknas
menyebutkan ; “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Mengembangkan
potensi diri terjadi sepanjang waktu, dimana anak didik bersentuhan, baik
dengan guru, teman, orang tua, saudara, tetangga, bahkan orang lain, serta
kondisi lingkungan alam. Kita sebut saja, bahwa pengembangan diri sangat
dipengaruhi oleh sentuhan-sentuhan lingkungan sosial dan perilakunya (budaya)
serta lingkungan alam. Anak didik akan belajar dari mereka, apa yang dilihat,
didengar dan dirasakannya sesuai dengan kemampuan perkembangan psikologinya.
Karakter, intelektualitas, skill dan value (nilai) akan terbentuk atas pengaruh
di atas. Dan itu berjalan 24 jam. Dengan demikian, maka menjadi kewajiban kita
bersama untuk melakukan bimbingan dan pembinaan dalam prosesnya agar anak-anak
didik kita tidak menjadi liar.
Melakukan
bimbingan dan pembinaan anak didik untuk
bisa mengembangkan dirinya, bukanlah semata-mata menjadi tugas dan beban
pemerintah, tapi menjadi beban kita bersama, mengingat kita bersama memiliki
kepentingan berhasilnya pendidikan.
Ada
tiga pihak yang berkepentingan dengan pendidikan, yaitu ; keluarga, masyarakat
dan negara. Oleh karena itu, ketiganya harus bersentuhan langsung dan aktif
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selama
ini, pihak negara terlibat secara
langsung dan aktif. Pemerintah sebagai penguasa penyelenggaraan negara telah
membentuk Kementrian Pendidikan, mendirikan sekolah-sekolah, mengangkat guru,
menyediakan sarana dan pra sarana, menyusun kurikulum, menyediakan anggaran
pembiayaan pendidikan dan keperluan
lainnya.
Keterlibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan baru terlihat dalam bentuk hadirnya Komite Sekolah. Itupun
nampak masih abu-abu.
Pokok
masalah yang paling disoroti dalam
tulisan ini adalah sejauh mana peran keluarga dan masyarakat dalam proses pendidikan anak didik, dimana
anak didik lebih lama waktunya berada di
keluarga dan masyarakat, dibanding
keberadaan di sekolah. Di sekolah mereka hanya maksimal 6 sampai 7 jam,
sementara selebihnya (17 sampai 18 jam) berada di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Logikanya, anak didik lebih banyak kesempatan mendapatkan
pembelajaran untuk membentuk karakter
dirinya di keluarga dan masyarakat ketimbang di sekolah. Anak didik lebih
banyak melihat, mendengar dan merasakan sesuatu disana.
Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 9 menyatakan : “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.”
Atas
dasar ini, maka peran serta keluarga dan masyarakat perlu diberi ruang yang
lebih luas untuk berperan. Dan peran-peran itu dituangkan dalam bentuk regulasi
yang mengikat dan berimplikasi pada hukum, baik hukum administrasi atau pidana.
Catatan
: Tulisan ini merupakan refleksi pikiran dan cita-cita penulis, dan bersifat
opini.
Penulis
: Kasim Suriadinata.