Saat ini Pemerintahan Desa telah
menempati posisi kokoh dan kuat dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Desa mendapat porsi yang besar dari negara untuk membangun
warganya agar lebih mendapatkan kesejahteraan.
Desa diberikan kewenangan yang luas mengelola pembangunan, baik pembangunan
pisik maupun non pisik. Hal itu ditunjukan dengan diundangkannya Undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sepanjang sejarah republik ini, baru kali ini
desa berikut warga dan penduduknya diberikan perlindungan hukum yang kuat untuk
membangun dirinya dalam struktur pemerintahan desa.
Konsekwensi logis dari kondisi di
atas, maka menjadi kewajiban bagi setiap warga desa untuk menyiapkan diri agar
menjadi warga desa yang siap membangun. Tentu dengan berbekal optimisme dan
semangat membangun. Dalam kontek kemajuan tekologi dan informasi, menyongsong
harapan untuk lebih maju, tidaklah cukup dengan bekal optimisme dan semangat
membangun saja. Tantangan luar biasa, dan diperlukan ilmu pengetahuan dan
kecerdasan, disamping kejujuran dan tanggung jawab.
Setiap warga desa yang tampil
menjadi “pejuang pembangunan desa” harus memiliki bekal-bekal seperti diuraikan
di atas. Tidak hanya dengan berbekal keberanian.
Barangkali atas dasar itulah para
pembuat undang-undang mencantumkan pasal-pasal persyaratan. Untuk jadi seorang
Kepala Desa, contohnya, disamping harus memiliki sifat yang baik, dia harus
berpendidikn formal paling rendah SMP atau sederajat. Untuk diangkat jadi perangkat
desa harus berpendidikan paling rendah SMA atau sederajat.
Bagaimana dengan BPD ?
Sebagai bangsa yang menganut
faham demokrasi, dalam menyelenggarakan
pemerintahan desa dibutuhkan “cek and balancing” untuk mengontrol
dan mengawasi para pelaksana pemerintahan agar berjalan positif dan
maksimal. Selain itu dibutuhkan kekuatan
pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan. Untuk memenuhi itu, undang-undang
mencantumkan bab tersendiri yang mengatur tentang badan pengawasan yang disebut
Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Mengingat BPD memiliki peran
penting dalam melakukan control dan pengawasan pemerintah desa, maka sangat
logis bila orang-orang yang dipilih menjadi anggotanya adalah yang memiliki
sifat dan kemampuan setara dengan pelaksana
pemerintah (eksekutiv) bahkan bila perlu melebihi.
Baik kepala desa dan
perangkatnya, maupun angota-anggota BPD adalah representasi dari kondisi warga
desa setempat. Budaya, adat istiadat, agama serta tingkat pendidikan. Disaat
ini penduduk desa sudah hampir rata-rata berpendidikan formal setingkat SMP.
Tidak jarang yang berpendidikan SMA bahkan sarjana. Jadi betapa tidak eloknya
bila terjadi di satu desa ada polemik calon kepala desa atau calon anggota BPD
yang pendidikan formalnya tidak sempat lulus Sekolah Dasar. Lebih-lebih jabatan Ketua BPD.