48 tahun hilang, berjumpa di usia tua.



Memori indah buat sahabatku :



Terpaku, terkesima, tak percaya. Begitu perasaanku ketika bertatapan muka dengan seorang kakek umurnya diperkirakan lewat 70 tahun, di sebuah tempat, di kampungku. Tergambar dari keriput kulit di wajah yang disertai jenggot dan kumis yang tumbuh dengan dua warna , gigi depan sudah tak tampak mesti sorot mata masih sangat tajam.


Lama tertegun setelah seseorang menyebut nama orang tersebut. Ilyas Sobir. Nama yang berpuluh tahun menjadi pertanyaan di hati, dimana dia, bagaimana dia.
Kutatap wajahnya dengan tajam. Ku amati bagian-bagian wajah, rambut dan tangannya, termasuk suara dan gaya bicara.  Aku punya memori yang terekam dibenak tentang orang yang disebutkan namanya tadi, di tahun 70 an ketika aku masih muda. Diapun sebaya mesti dia lebih tua tiga tahun.
“Kumaha Oyoh. Mana Oyoh”, ucapnya kepadaku. Oyoh adalah nama istriku.
Aku tersentak seketika. Aku sadar. Ya, ini Ilyas Sobir. Kurangkul dia, kupeluk dia. Rasa haru tak terbendung. Air mata bercucuran tak tertahankan. Hanya ucapan terbata-bata yang bisa aku lakukan melampiaskan rasa rindu.

Siapa Ilyas Sobir ?
Dalam catatan hidupku, nama Ilyas Sobir melekat menjadi satu, satu untaian kisah indah yang tak pernah terlupakan. Dia menjadi perekat kuat dalam membentuk hidup keluargaku.

Kala itu, tahun 70 an, aku mengenalnya melalui pertemuan-pertemuan anak muda. Meski tempat tinggal dia berjauhan dengan tempat tinggalku. Jaraknya sekitar 8 kilometer. Berbeda desa, berbeda kecamatan. Namun kami berdua bisa berkenalan, sering bertemu dan besahabat. Dua hal yang menjadi motivasi. Pertama, dunia musik. Sesuai dengan jamannya kala itu, saya dan dia sama-sama menyukai musik melayu. Orang sekarang menyebutnya musik dangdut. Aku dan dia sering bertemu ketika grup orkes melayu “Senandung Riang” yang dipimpin pa Abdul Rosid, latihan. Grup itu berbasis di rumah pa Abdul Rosid.

Hal lain yang menjadi motivasi pertemanan dan persahabatan kami berdua adalah kesamaan pandangan tentang Islam. Kami memandang Isam sebagai keyakinan yang universal dengan dasar yang jelas dan kuat yaitu ; Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kami menentang syirik, bid’ah, khurofat dan tahayul. Kami juga berpandangan bahwa Islam bukanlah agama yang semata-mata menitik beratkan pada ibadah mahdloh, tapi mencakup ranah ibadah yang lebih luas, yaitu seluruh aspek  kehidupan, termasuk persoalan politik. Tidak heran, ketika kami bergabung dengan tokoh-tokoh senior di partai politik Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI)  yang saat itu ikut berkontestasi di pemilihan umum tahun 1971.

Buah manis dari persahabatan itu, aku bisa berkenalan dengan seorang gadis yang masih sangat belia, anak seorang tokoh setempat yang kala itu sangat dihormati. Itu berkat kepiawaian dia mendekati gadis tersebut dan juga orang tuanya. Dia, sahabatku sukses menjadi “matcomblang”. Kini gadis itu sudah menjadi ibu dari enam anak-anakku dan nenek dari sepuluh cucu-cucuku.

Hari ini, wahai sahabatku. Setelah 48 tahun engkau meninggalkan kami, mengembara di dunia yang kami tidak fahami, tanpa kabar, tanpa berita, engkau telah kembali, karena “tangan Allah” dan  berada dalam lingkaran kehidupanku kembali, mesti dalam pola yang jauh berbeda. Engkau dan aku sudah sama-sama tua.

Yang aku sangat banggakan, setelah 48 tahun berpisah, kini engkau telah kembali dalam keadaan utuh dalam komitmen keimanan, komitmen persahabatan. Bahkan lebih sempurna.

Aku sudahi dulu aku menulis, karena air mata ini tidak bisa dibendung.

Pondokbales, 23 Juli 2019


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama