Terpaku, terkesima, tak percaya. Begitu
perasaanku ketika bertatapan muka dengan seorang kakek umurnya diperkirakan
lewat 70 tahun, di sebuah tempat, di kampungku. Tergambar dari keriput kulit di
wajah yang disertai jenggot dan kumis yang tumbuh dengan dua warna , gigi depan
sudah tak tampak mesti sorot mata masih sangat tajam.
Lama tertegun setelah seseorang menyebut
nama orang tersebut. Ilyas Sobir. Nama yang berpuluh tahun menjadi pertanyaan
di hati, dimana dia, bagaimana dia.
Kutatap wajahnya dengan tajam. Ku amati
bagian-bagian wajah, rambut dan tangannya, termasuk suara dan gaya bicara. Aku punya memori yang terekam dibenak tentang
orang yang disebutkan namanya tadi, di tahun 70 an ketika aku masih muda.
Diapun sebaya mesti dia lebih tua tiga tahun.
“Kumaha Oyoh. Mana Oyoh”, ucapnya kepadaku.
Oyoh adalah nama istriku.
Aku tersentak seketika. Aku sadar. Ya, ini
Ilyas Sobir. Kurangkul dia, kupeluk dia. Rasa haru tak terbendung. Air mata
bercucuran tak tertahankan. Hanya ucapan terbata-bata yang bisa aku lakukan
melampiaskan rasa rindu.
Siapa Ilyas Sobir ?
Dalam catatan hidupku, nama Ilyas Sobir
melekat menjadi satu, satu untaian kisah indah yang tak pernah terlupakan. Dia
menjadi perekat kuat dalam membentuk hidup keluargaku.
Kala itu, tahun 70 an, aku mengenalnya
melalui pertemuan-pertemuan anak muda. Meski tempat tinggal dia berjauhan
dengan tempat tinggalku. Jaraknya sekitar 8 kilometer. Berbeda desa, berbeda
kecamatan. Namun kami berdua bisa berkenalan, sering bertemu dan besahabat. Dua
hal yang menjadi motivasi. Pertama, dunia musik. Sesuai dengan jamannya kala
itu, saya dan dia sama-sama menyukai musik melayu. Orang sekarang menyebutnya
musik dangdut. Aku dan dia sering bertemu ketika grup orkes melayu “Senandung
Riang” yang dipimpin pa Abdul Rosid, latihan. Grup itu berbasis di rumah pa
Abdul Rosid.
Hal lain yang menjadi motivasi pertemanan
dan persahabatan kami berdua adalah kesamaan pandangan tentang Islam. Kami
memandang Isam sebagai keyakinan yang universal dengan dasar yang jelas dan
kuat yaitu ; Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kami menentang syirik, bid’ah, khurofat
dan tahayul. Kami juga berpandangan bahwa Islam bukanlah agama yang semata-mata
menitik beratkan pada ibadah mahdloh, tapi mencakup ranah ibadah yang lebih
luas, yaitu seluruh aspek kehidupan,
termasuk persoalan politik. Tidak heran, ketika kami bergabung dengan
tokoh-tokoh senior di partai politik Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) yang saat itu ikut berkontestasi di pemilihan
umum tahun 1971.
Buah manis dari persahabatan itu, aku bisa
berkenalan dengan seorang gadis yang masih sangat belia, anak seorang tokoh
setempat yang kala itu sangat dihormati. Itu berkat kepiawaian dia mendekati
gadis tersebut dan juga orang tuanya. Dia, sahabatku sukses menjadi
“matcomblang”. Kini gadis itu sudah menjadi ibu dari enam anak-anakku dan nenek
dari sepuluh cucu-cucuku.
Hari ini, wahai sahabatku. Setelah 48 tahun
engkau meninggalkan kami, mengembara di dunia yang kami tidak fahami, tanpa
kabar, tanpa berita, engkau telah kembali, karena “tangan Allah” dan berada dalam lingkaran kehidupanku kembali,
mesti dalam pola yang jauh berbeda. Engkau dan aku sudah sama-sama tua.
Yang aku sangat banggakan, setelah 48 tahun
berpisah, kini engkau telah kembali dalam keadaan utuh dalam komitmen keimanan,
komitmen persahabatan. Bahkan lebih sempurna.
Aku sudahi dulu aku menulis, karena air
mata ini tidak bisa dibendung.
Pondokbales, 23 Juli 2019