Pemilihan Kepala Desa Gelombang I
di Kabupaten Karawang baru saja usai. Banyak catatan yang berserakan, di 45
Desa. Dari persoalan ijasah, domisili, usia para calon, hingga kecurangan yang
dilakukan panitia. Hal lain yang juga
menarik perhatian , bagaimana seorang warga bisa dan tidak bisa terdaftar di
Daftar Calon Pemilih Tetap.
Dari sekian banyak persoalan yang
timbul, yang paling menarik untuk diamati dan didiskusikan, begitu besarnya
biaya yang dikeluarkan, baik oleh Panitia maupun para calon. Pemerintah telah
mengalokasikan dana milyaran rupiah untuk pelaksanaan pilkades. Kabupaten
Karawang menggelontorkan uang ke 45 Desa tidak kurang dari 4 milyar rupiah.
Dana yang telah dialokasikan ke 45 Desa tersebut disambut dengan sikap yang
sama. Kurang. Dari hasil penelusuran, diperoleh info bahwa hampir semua panitia
pilkades di 45 desa membuat anggaran tambahan dengan menggali sumber tambahan
dari berbagai cara. Sebagian panitia menggali sumber biaya tambahan dengan
memungut jutaan rupiah dari para calon. Sebagiannya mengambil langkah lain.
Di dua Desa, Lemahmakmur dan
Lemahduhur, keduanya di wilayah Kecamatan Tempuran, dipastikan bahwa para calon
tidak dipungut biaya sepeserpun. Tapi soal biaya tambahan tetap ada. Dua Desa
tersebut mengambil biaya tambahan dari menyewakan tanah sawah bengkok desa.
Mengenai persoalan ini nampaknya
harus menjadi perhatian pemerintah untuk menganalisa, apakah benar biaya yang
digelontorkan APBD itu tidak cukup. Atau hanya akal-akalan.
Hal pembiayaan yang fantastik dan
bikin kening mengkerut, yaitu betapa besarnya biaya yang dikeluarkan para calon
untuk meraih suara dari pemilih. Mesti
sulit dibuktikan, fenomena tersebut memang ada. Seorang pemilih yang keberatan
identitasnya dipublikasi, mengaku telah menerima ratusan ribu rupiah dari
calon. Bahkan dengan polosnya dia juga mengaku telah menerima ratusan ribu
bukan hanya dari satu calon, dan dia akhirnya mencoblos calon yang telah
memberinya uang paling besar. Sangat masuk akal bila ada fihak calon yang mengaku telah menghabiskan uang milyaran
rupiah.
Sepengetahuan penulis, sejak
negri ini merdeka, pelaksanaan pemilihan kepala desa selalu dengan cara dipilih
oleh warga desa setempat. Dan ini
merupakan pelaksanaan demokrasi tertua. Tak ada catatan seorang kepala
desa duduk sebagai kepala desa dengan ditunjuk. Selalu dipilih. Dulu tahun 50
an hingga 60 an warga memilih kepala desa dengan menggunakan girik yang
dimasukan ke dalam bumbung. Bumbung adalah wadah penampungan girik. Tiap calon
memiliki bumbung masing-masing, dengan warna bumbung yang menggambarkan calon.
Bumbung warna merah disediakan bagi warga yang memilih calon dengan bendera
warna merah. Bumbung warna hitam disediakan bagi warga yang memilih calon
dengan bendera warna hitam. Dan seterusnya. Siapa yang memperoleh paling banyak girik di
dalam bumbungnya, dialah pemenangnya.
Soal uang ? Tidak ada warga yang
dibayar (disuap) sepeserpun oleh calon, tapi mereka setia datang ke TPS. Disini sangat terlihat kemurnian demokrasi rakyat
saat itu. Tidak sedikit yang rela meninggalkan pekerjaannya, bahkan usahanya,
hanya untuk menghormati dan setia pada demokrasi. Dengan demikian biaya yang
dikeluarkan para calon cukuplah dengan menyediakan “dapur umum” untuk menjamu
para calon pemilih yang berkunjung ke rumah calon kades, sekedar makan atau
ngopi.
Lalu, apa pertimbangan
menjatuhkan pilihan ? Saya berasumsi, bahwa ketika itu warga masih murni
menjatuhkan pilihan berdasarkan pikiran sejak jauh-jauh hari. Jauh lebih murni
dibanding saat ini.
Waktu begeser. Tahun 80 an mulai
ada “uang” bermain. Biasanya, sehari
sebelum hari pencoblosan, para calon membagikan sejumlah uang kecil kepada
warga pemilih, sekedar untuk jajan es. Memang tidak seberapa. Tapi, semakin hari uang
jajan es itu semakin membesar dan menjadi alat untuk mengiming-imingi calon
pemilih. Rupanya, inilah cikal bakal terjadinya
“uang suap” dari calon kades kepada calon pemilihnya yang semakin menggila. Dari persaingan besaran uang
itulah, saya menduga telah menggerus kemurnian demokrasi. Nalar, pikiran,
pendapat, keinginan tuk memilih kades yang terbaik menjadi pudar, silau denga
uang.
Saya mengiyakan pernyataan
seorang calon kades yang kalah, yang mengatakan bahwa ; bila sistem pilkades
dibiarkan seperti ini maka jangan harap orang-orang yang punya potensi untuk
menjadi kades yang baik, sedangkan tak memiliki uang banyak, akan bisa
tercapai. Mustahil ! Oleh karena itu, menurutnya, bahwa sitem pilkades harus
dirobah.